Sabtu, 12 Februari 2011

TIGA ORDE


1. Orde Lama dengan amanat semangat revolusi
Masa orde lama merupakan masa revolusioner, dimana masa pembentukan pilar-pilar pemerintahan revolusioner dibawah komando Bung Karno telah mengikrarkan suatu wilayah dari Sabang sampai Merauke dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstelasi politik dalam negeri yang begitu cepat berubah tidak menggoyahkan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Pada percaturan politik luar negeri, Bung Karno telah berhasil menjadi kampium dunia yang disegani oleh kawan maupun lawan. Gerakan Non Blok dan Konferensi Asia-Afrika adalah salah satu bukti keperkasaannya dalam percaturan politik internasional. Kekuasaan Bung Karno berakhir pasca diterbitkannya Supersemar, dengan dilantiknya Jendral Soeharto sebagai Presiden RI ke 2 oleh MPRS pada tanggal 27 Maret 1968.
Selama kurun waktu berkuasanya pemerintahan orde lama, secara perlahan tetapi pasti virtue (keutamaan) nilai-nilai luhur Pancasila seakan akan lumat oleh sebuah proses akumulasi kekuasaan yang sangat agresif tanpa mengindahkan cita-cita luhur yang dijadikan alasan untuk membangun kekuasaan itu sendiri. Retorika dan jargon politik yang bersumber dari gagasan bahwa revolusi belum selesai, termasuk cara cara revolusioner untuk membangun tatanan dunia baru, dijadikan legitimasi politik untuk membenarkan perlunya seorang pemimpin revolusi yang ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan semangat dan alasan melaksanakan amanat revolusi 1945 itu pulalah nilai-nilai luhur, konstitusi, norma dan aturan dapat ditabrak kalau tidak sesuai dengan jalannya revolusi. Sedemikian membaranya semangat berevolusi waktu itu, sehingga andai kata revolusi memerlukan korban, apapun harus diberikan. Hal itu sesuai dengan ungkapan yang seringkali diucapkan oleh Pemimpin Besar Revolusi bahwa pengorbanan adalah sesuatu yang dianggap sebagai konsekwensi logis dari hakekat revolusi, karena demi sebuah perjuangan yang revolusioner kadang-kadang revolusi bahkan harus tega memakan anaknya sendiri.

2. Orde Baru dengan semangat kekeluargaan
Perjalanan orde baru dimulai, awal pemerintahan orde baru banyak membawa perubahan kearah perbaikan perekonomian rakyat setelah hampir bangkrut akibat kebijakan revolusioner orde lama.
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan politik di arena internasional.
Namun, seiring dengan itu cengkraman kekuasaan Suharto perlahan-lahan mulai menggenggam semua lini kehidupan bernegara. Azas tunggal Pancasila, penyederhanaan jumlah partai politik hingga mendoktrinisasi semua lembaga lembaga negara dibawah panji-panji cendana.
Kekuasaan orde baru yang hampir absolut itu, juga dikelilingi oleh kroni-kroni yang menebarkan virus-virus korupsi. Terpusatnya komando dibawah kendali keluarga cendana menciptakan jurang perbedaan semakin jauh, marginalisasi rakyat telah melahirkan sikap kebencian dan anti Soeharto. Namun, dengan kekuatan senjata Orde Baru menumpas setiap gerakan perlawanan yang kemudian disebut sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).
Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi (meskipun tidak penuh) model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu.
Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar, maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari birokrasi tersebut. Singkatnya, birokrasi wajib mendukung Golkar sebagai partai pemerintah. Begitu juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan pada saat itu.  Dukungan yang diberikan oleh PNS atau birokrasi tidak hanya sampai di situ. Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus turut mendukung Golkar. Oleh sebab itulah Golkar selalu menang dalam setiap Pemilu, karena jumlah pegawai negeri di Indonesia sangat banyak jumlahnya, belum ditambah lagi dengan anggota keluarganya. Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan terhadap masyarakat menjadi diabaikan.
Akumulasi kebencian dan anti Soeharto bersinergi dengan krisis global yang juga sampai di tanah air, telah meluluhkan Pondasi perekonomian Orde Baru yang rapuh akibat praktek KKN-nya. Sinyal runtuhnya orde baru ditandai dengan wafatnya Tien Soeharto yang dikenal sebagai inspiratornya Orde Baru. Kebijakan menaikan harga bbm telah menimbulkan aksi demonstrasi mahasiswa di tanah air, peristiwa yang menewaskan beberapa mahasiswa Universitas Trisakti telah mengubah arah tuntutan para demonstran yang awalnya menuntut penurunan harga bbm menjadi turunnya Soeharto.
Aksi demontrasi mahasiswa telah bermetamorfosis menjadi gerakan reformasi, Soeharto sudah tidak mampu lagi menahan gerakan yang dimotori mahasiswa dan mendapat dukungan semua komponen bangsa. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998 Suharto menyatakan mengundurkan diri dan digantikan oleh Wakil Presiden Habibie sebagai Presiden RI ke 3.

3. Era (orde) Reformasi dengan semangat mencari massa
Pada tahun 1999, setelah rezim orde baru jatuh, Indonesia memulai kehidupan barunya dengan melaksanakan pemilu secara jurdil dan demokratis. Masa ini cukup dikenal sebagai "orde reformasi". Sebuah orde di mana saat itu dilakukan reformasi secara total dengan agenda-agenda yang sejak lama direncanakan. Euforia reformasi telah membawa perubahan besar dalam tatanan hidup bernegara, pintu kebebasan terbuka lebar bahkan nyaris ditanggalkan. Peraturan yang represif peninggalan orde baru segera dibatalkan/diubah, sendi-sendi kehidupan berbangsa yang dulu terbelenggu kini pun terlepas bebas hampir tak berbatas hingga Timor-Timur pun terlepas dari wilayah NKRI.
Pembatasan masa jabatan Presiden, dengan diamandemennya UUD 1945 merupakan langkah awal perjalanan Era reformasi. Dilanjutkan dengan diterapkannya otonomi daerah yang telah melahirkan raja-raja kecil di daerah, dan dengan alasan menggali pendapatan asli daerah telah terjadi praktek perampokan potensi sumber daya alam daerah. Pemekaran wilayah ibarat pembagian kekuasaan bagi para elit daerah, pelaksanaan Pilkada pun tidak lebih sebagai upaya untuk mencari dukungan para elit berkuasa.
Pada era reformasi mulai terlihat bagaimana para raja-raja kecil, elit politik, dan orang-orang ambisius mulai mengamankan aset-aset mereka, dengan cara menghambat Negara ini menjadi tidak makmur. Dengan demikian, mereka masih mempunyai orang-orang yang minus ilmu dan minus penghasilan, digunakan untuk saling serang. Dengan begitu para raja-raja kecil, elit politik, dan orang-orang ambisius selalu dapat mengendalikan Negara ini.
Ketidakmakmuran bisa dilihat dari Upah Minimum Regional, pekerja kontrak, birokerja (outsourcing), perancangan undang-undang yang penuh dengan persyaratan, dan para elit politik yang saling ingin menjatuhkan.
Mau dimana kemana Negara ini?????






1 komentar: