Discovery Learning
Metode penemuan (discovery)
diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran,
perseorangan, manipulasi obyek dan percobaan, sebelum sampai kepada
generalisasi. Sehingga metode penemuan (discovery) merupakan
komponen dari praktik pendidikan yang meliputi metode mengajar yang
memajukan cara belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan
sendiri, mencari sendiri, dan reflektif (Suryosubroto 2009:178). Menurut
Hanafiah metode penemuan (discovery) merupakan suatu rangkaian
kegiatan pembelajaran yang melibatkan seluruh kemampuan siswa secara
maksimal untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, dan
logis sehingga siswa dapat menemukan sendiri pengetahuan, sikap, dan
keterampilan sebagai wujud adanya perubahan tingkah laku (2009: 77).
Richard dan asistennya mencoba self-learning pada siswa (belajar sendiri), sehingga situasi belajar mengajar berpindah dari situasi teacher dominate learning menjadi situasi student dominated learning.
Dengan menggunakan discovery learning, ialah suatu cara mengajar yang
melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat,
dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan mencoba sendiri. Agar anak
dapat belajar sendiri (dalam Suryosubroto 2009:179).
Model discovery learning
bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam
belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal
sesuai kemampuan yang dimilikinya. Proses perkembangan harus dipandang
sebagai stimulus yang dapat menantang siswa untuk melakukan kegiatan
belajar.
Model discovery-inquiry atau discovery learning
menurut Suryosubroto (2002) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar
yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan
lain-lain, sebelum sampai kepada generalisasi. Discovery adalah
proses mental yang membuat siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau
sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati,
menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat
kesimpulan, dan sebagainya.
Model discovery learning
adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif
untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005: 43). Discovery
terjadi apabila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses
mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery
dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery
itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik 2001:219).
Sebagai strategi belajar, discovery learning
mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan problem
solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini,
pada discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau
prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery
masalah yang dihadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa
oleh guru. Sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa,
sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya
untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses
penelitian, sedangkan problem solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah.
Menurut Sutrisno (2008) inquiry
merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar
berpikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini
siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam
memecahkan masalah. Menurut Bruner (dalam Arends 2008:48) discovery
learning merupakan sebuah model pengajaran yang menekankan pentingnya
membantu siswa untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin
ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan
keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery
(penemuan pribadi).
Menurut Suprijono (2010:69) discovery learning
merupakan pembelajaran beraksentuasi ada masalah-masalah kontekstual.
Proses belajar model ini meliputi proses informasi, transformasi, dan
evaluasi. Proses informasi, pada tahap ini siswa memperoleh informasi
mengenai materi yang sedang dipelajari. Pada tahap ini siswa melakukan
penyandian atau encoding atas informasi yang diterimanya. Berbagai
respon diberikan siswa atas informasi yang diperolehnya. Ada yang
menganggap informasi yang diterimanya sebagai sesuatu yang baru. Ada
pula yang menyikapi informasi yang diperolehnya lebih mendalam dan luas
dari pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.
Tahap transformasi,
pada tahap ini siswa melakukan identifikasi, analisis, mengubah,
mentransformasikan informasi yang telah diperolehnya menjadi bentuk yang
abstrak atau konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan
bagi hal-hal yang lebih luas. Dalam tahap ini siswa mengembangkan
inferensi logikannya. Tahap ini dirasakan sesuatu sulit dalam belajar
penemuan. Dalam keadaan seperti ini guru diharapkan kompeten dalam
mentransfer strategi kognitif yang tepat. Tahap evaluasi, pada tahap ini
siswa menilai sendiri informasi yang telah ditransformasikan itu dapat
dimanfaatkan untuk memahami gejala atau memecahkan masalah yang
dihadapi. Menurut Kemendikbud (dalam materi pelatihan guru implementasi
kurikulum 2013: 31), discovery learning adalah teori belajar
yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi apabila
siswa tidak disajikan materi pelajaran dalam bentuk final, melainkan
diharapkan mengorganisasi sendiri.
Berdasarkan beberapa
definisi di atas dapat peneliti simpulkan bahwa discovery learning
merupakan pembelajaran yang menitikberatkan pada proses pemecahan
masalah, sehingga siswa harus melakukan eksplorasi berbagai informasi
agar dapat menentukan konsep mentalnya sendiri dengan mengikuti petunjuk
guru berupa pertanyaan yang mengarah pada pencapaian tujuan
pembelajaran.
Discovery Learning merupakan pembelajaran berdasarkan penemuan (inquiry-based),
konstruktivis dan teori bagaimana belajar. Model pembelajaran yang
diberikan kepada siswa memiliki skenario pembelajaran untuk memecahkan
masalah yang nyata dan mendorong mereka untuk memecahkan masalah mereka
sendiri. Dalam memecahkan masalah mereka; para siswa menggunakan
pengalaman mereka terdahulu dalam memecahkan masalah. Kegiatan mereka
lakukan dengan berinteraksi untuk menggali, mempertanyakan selama
bereksperimen dengan teknik trial and error.
Guru memberikan masalah kepada para siswa dan memfasilitasi siswa untuk memecahkannya sendiri. Memang bisa terjadi suasana kelas agak gaduh karena seperti tidak terkendali, namun sebenarnya mereka dalam kegiatan yang terorganisasi. Pembelajaran diarahkan sedemikian rupa supaya siswa menyelesaikan suatu proyek tentang masalah nyata untuk dipecahkan oleh para siswa sendiri.
Guru memberikan masalah kepada para siswa dan memfasilitasi siswa untuk memecahkannya sendiri. Memang bisa terjadi suasana kelas agak gaduh karena seperti tidak terkendali, namun sebenarnya mereka dalam kegiatan yang terorganisasi. Pembelajaran diarahkan sedemikian rupa supaya siswa menyelesaikan suatu proyek tentang masalah nyata untuk dipecahkan oleh para siswa sendiri.
Model pembelajaran discovery learning menurut
Alma dkk (2010:59) yang juga disebut sebagai pendekatan inkuiri
bertitik tolak pada suatu keyakinan dalam rangka perkembangan murid
secara independen. Model ini membutuhkan partisipasi aktif dalam
penyelidikan secara ilmiah. Hal ini sejalan juga dengan pendapat yang
menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
Menurut Alma, dkk
(2010:61) Model Discovery Learning ini memiliki pola strategi dasar yang
dapat diklasifikasikan ke dalam empat strategi belajar, yaitu:
(1) penentuan problem, (2) perumusan hipotesa, (3) pengumpulan dan
pengolahan data, dan (4) merumuskan kesimpulan. Menurut Kemendikbud
(dalam materi pelatihan guru implementasi kurikulum 2013:32),
langkah-langkah model discovery learning ada tiga tahap yang terdiri
atas persiapan, pelaksanaan dan evaluasi.
a. Langkah Persiapan Model Discovery Learning
1) Menentukan tujuan pembelajaran.
2) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
3) Memilih materi pelajaran.
4) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
5) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
6)
Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari
yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke
simbolik.
7) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
b. Prosedur Aplikasi Model Discovery Learning
1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di
samping itu guru dapat memulai kegiatan poses belajar mengajar dengan
mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan kegiatan belajar
lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada
tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang
dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.
2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian
salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban
sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004: 244). Permasalahan yang
dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau
hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan
yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan
menganalisa permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang
berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu
masalah.
3) Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para
siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan
untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004: 244). Tahap
ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar
tidaknya hipotesis.
Dengan demikian peserta didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan
berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek,
wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya.
Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk
menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi,
dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah
dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk
menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi,
dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah
dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Data Processing (Pengolahan Data)
Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya,
semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu
dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002: 22).
Data processing
disebut juga dengan pengkodean atau kategorisasi yang berfungsi sebagai
pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa
akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/
penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
5) Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan
temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah,
2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar
akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran atau informasi yang ada,
pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian
dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi
(Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan
siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya
penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang
luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses
pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
Sebagai model pembelajaran, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini. Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaan inkuiri dan problem solving dengan Discovery Learning ialah bahwa pada discovery learning masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru
Tujuan Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery)
Menurut Trianto (2010:
53) fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang
pengajar dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Untuk memilih
model ini sangat dipengaruhi oleh sifat dari materi yang akan diajarkan,
dan juga dipengaruhi oleh tujuan yang akan dicapai dalam pengajaran
tersebut serta tingkat kemampuan peserta didik. Di samping itu pula,
setiap model pembelajaran juga mempunyai tahap-tahap (sintaks) yang
dapat dilakukan siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang satu
dengan sintaks yang lain juga mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan
ini, di antaranya pembukaan dan penutupan pembelajaran yang berbeda
antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, guru perlu menguasai dan
dapat menerapkan berbagai keterampilan mengajar, agar dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang beraneka ragam dan lingkungan belajar yang
menjadi ciri sekolah pada dewasa ini.
Metode pembelajaran penemuan (discovery) dalam proses belajar mengajar mempunyai beberapa tujuan antara lain :
a. Meningkatkan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam memperoleh dan memproses perolehan belajar.
b. Mengarahkan para siswa sebagai pelajar seumur hidup.
c. Mengurangi ketergantungan kepada guru sebagai satu-satunya sumber informasi yang diperlukan oleh para siswa.
d.
Melatih peserta didik untuk mengeksplorasi atau memanfaatkan lingkungan
sebagai informasi yang tidak akan pernah tuntas digali (Moedjiono,
1993:83).
Adapun tujuan lain dari metode penemuan (discovery) dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut :
a. Mengembangkan sikap, keterampilan, kepercayaan peserta didik dalam memutuskan sesuatu secara tepat dan objektif.
b. Mengembangkan kemampuan berfikir peserta didik agar lebih tanggap, cermat dan melatih daya nalar (kritis, analis dan logis).
c. Membina dan mengembangkan sikap rasa ingin tahu.
d. Menggunakan aspek kognitif, afektif dan psikomotor dalam belajar (Azhar, 1993:99).
Kelebihan dan Kekurangan Penerapan Discovery Learning
Setiap model
pembelajaran tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Oleh karena itu, guru harus kreatif dalam memilih model pembelajaran
yang akan digunakan. Model discovery learning memudahkan siswa
untuk menemukan sendiri konsep-konsep pembelajaran yang tidak diperoleh
siswa dengan cara mendengarkan penjelasan dari guru.
Menurut Kemendikbud (dalam buku pelatihan guru Implementasi Kuriulum 2013:31), mengatakan mengenai kelebihan dari discovery learning adalah sebagai berikut.
a.
Membantu peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan
keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan
merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara
belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui strategi ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
d. Strategi ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f. Strategi ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g.
Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan
sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
h.
Membantu peserta didik menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena
mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru.
k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
n. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
o. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
p. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
q. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
r. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
Model
pembelajaran discovery learning lebih cocok untuk mengembangkan
pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi
secara keseluruhan kurang mendapat perhatian. Pada beberapa disiplin
ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang
dikemukakan para siswa. Model pembelajaran discovery learning
tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan
ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
Ahli lain mengatakan bahwa metode penemuan (discovery) ini mempunyai keuntungan yaitu sebagai berikut.
a.
Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak
kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan
siswa.
b.
Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi individual
sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.
c. Dapat membangkitkan kegairahan belajar mengajar para siswa.
d. Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengankemampuannya masing-masing.
e. Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat.
f.
Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri
sendiri dengan proses penemuan sendiri (Djamarah, 2002: 82).
Model
pembelajaran discovery learning ini tidak efisien untuk mengajar jumlah
siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu
mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya. Harapan-harapan
yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan
guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama. Beberapa
kelebihan yang lain pada metode penemuan (discovery) ini antara lain:
a. Membantu siswa dalam mengembangkan atau memperbanyak penguasaan ketrampilan dan proses kognitif siswa
b. Membangkitkan gairah belajar bagi siswa
c. Memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak lebih maju sesuai dengan kemampuannya sendiri
d. Siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga ia lebih merasa terlibat dan termotivasi sendiri untuk belajar
e.
Membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepecayaan pada
diri sendiri melalui proses-proses penemuan (Suryosubroto, 2009: 185).
Metode itu berpusat
pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja,
membantu bila diperlukan. Metode penemuan (discovery) ini mempunyai kelemahan yaitu sebagai berikut:
a. Siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental
b. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik
c. Metode ini kurang berhasil digunakan di kelas besar
d.
Bagi guru dan siswa yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan
pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila di ganti dengan
metode penemuan (discovery)
e. Dengan menggunakan metode penemuan (discovery)
ini proses mental terlalu mementingkan proses pengertian saja atau
pembentukan sikap dan keterampilan siswa (Djamarah, 2002: 83).
Dalam Discovery Learning, hendaknya
guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem
solver, seorang scientis, historis, atau ahli matematika. Bahan ajar
tidak disajikan dalam bentuk akhir, tetapi siswa dituntut untuk
melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan
serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Model
pembelajaran discovery learning ini menimbulkan asumsi bahwa ada
kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan
mengalami kesulitan abstrak atau berfikir atau mengungkapkan hubungan
antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya
akan menimbulkan frustasi. Pada intinya tidak ada model pembelajaran
yang sempurna. setiap model pembelajaran memiliki ke;ebihan dan
kekurangannya. Tinggal kemampuan para guru untuk dapat memilah dan
memilih model pembelajaran yang mana yang paling cocok dengan materi
pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar